BAGAIMANA melahirkan sebuah seni pertunjukan yang berangkat dari upacara ritual tradisi, telah dibuktikan dengan munculnya pertunjukan Ronteg Singo Ulung. Sebagai seni pertunjukan, Singo Ulung relatif baru saja muncul ke permukaan, yakni ketika dilangsungkan Festival Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Timur di Malang tahun 2002. Meskipun, sebelum juga pernah tampil sebagai pengisi acara semacam arak-arakan di Bondowoso, kota asalnya.
Seni Pertunjukan ini lebih mengedepankan atraksi “tiga singa” yang masing-masing di dalamnya terdapat dua anak manusia, mirip Barongsai. Gerakan-gerakan singa yang akrobatik, keluar dari arena panggung, memunculkan kejutan-kejutan, mampu mempesona penonton. Apalagi mulut singa tersebut ternyata bisa “menggigit” (sebetulnya dipegang tangan dari dalam) bingkisan (biasanya tape Bondowoso) untuk diberikan pada pengunjung.
Tarian Singo yang menarik itu dibawakan dua pemain yang secara bersama-sama dibungkus rapat menjadi satu tubuh singa berbulu putih, seolah-olah menjadi binatang singa yang sesungguhnya. Bulu-bulu ini dulu menggunakan serat nanas dan benang untuk karung goni, namun belakangan diganti dengan tali rafia. Ronteg Singo Ulung, memang merupakan gabungan antara repetisi upacara ritual dan seni akrobatik singa. Meskipun, pada prakteknya penggabungan ini amat sulit dilakukan (ibarat api dan air) sehingga banyak penonton yang lebih tertarik oleh atraksi singa ketimbang substansi keseluruhan pertunjukannya.
Sebagai sebuah seni pertunjukan di panggung prosenium, Ronteg Singo Ulung baru muncul dalam Festival Seni Pertunjukan Jawa Timur tahun 2002 di Taman Krida Budaya (TKB) Malang, Jawa Timur. Dari sepuluh penampil dalam acara tersebut, wakil dari Kabupaten Bondowoso dinilai paling atraktif, paling unik, dan mendapat banyak pujian dari penonton. Tak heran jika kemudian dipilih oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Jawa Timur untuk mewakili Jatim dalam Festival Nasional Seni Pertunjukan Tradisional di Banjarmasin pada tahun yang sama.
Dalam forum tersebut, banyak penonton (juga pengamat) yang langsung mengklaim bahwa pertunjukan ini muncul akibat seni Barongsai yang sudah populer dalam masyarakat Cina. Termasuk, ada yang menghubung-hubungkan dengan seni pertunjukan Sesingaan (Subang, Jawa Barat) atau Basingaan di Kalsel. Anggapan seperti ini dapat dimaklumi, mengingat gerakan-gerakan singa yang akrobatik itu memang mirip dengan Barongsai. Meskipun, Singo Ulung sebetulnya memiliki banyak hal yang beda.
Maka sambutan penonton biasanya sedemikian meriah ketika singa-singa itu turun panggung, mendekati penonton dan membagi-bagikan tape dalam bungkus besek. Berulangkali tepuk tangan menggema ketika singa-singa itu melakukan akrobat, berguling-guling, memainkan adegan tarung atau saling bertumpuk seperti pertunjukan cheer leaders.
Itulah momen promosi yang ternyata amat efektif bagi kelompok seni pertunjukan ini. Setelah tampil sebagai bintang tamu dalam Festival Seni Pertunjukan Jatim bulan Juni 2003 di TKB Malang, bulan Agustus tahun 2003 Ronteg Singo Ulung diundang dalam parade seni pertunjukan tradisional di Jakarta dan mendapatkan penilaian bagus dari para pengamat. Bulan berikutnya diundang tampil dalam Festival Nusa Dua, Bali, yang membuat publik terperangah karena dianggap bakal bersaing dengan seni pertunjukan Barong Bali. Puncaknya, satu bulan kemudian (akhir Oktober 2003), Singo Ulung dipertemukan dalam satu arena dengan Tari Barong (Bali), Sesingaan (Jabar) dan Barongsai (diwakili kelompok dari Bukittinggi) dalam Festival Seni Pembauran di Bukittinggi.
Terlepas dari adanya pengaruh budaya Cina atau tidak, kehadiran Singo Ulung mampu menambah kekayaan khasanah seni pertunjukan rakyat yang unik dan juga menambah deretan seni pertunjukan yang menampilkan peran singa. Masing-masing seni pertunjukan itu memiliki latarbelakang budaya yang berbeda, namun ketika tampil sebagai atraksi atau tontonan, mereka sama-sama menarik dan memiliki kelebihan masing-masing. Dan Singo Ulung membuktikan diri sebagai pendatang baru yang betul-betul menyajikan suguhan baru, bukan epigon.
Magis dan Akrobatik
“Ronteg Singo Ulung” dari Bondowoso, sebetulnya berasal dari upacara adat yang telah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi sangat atraktif. Pertunjukan diawali dengan rombongan pemain melakukan prosesi sesaji yang datang dari arah belakang penonton. Seorang tokoh adat berpakaian dan bersorban putih membawa dupa yang dibakar, asapnya mengepul sehingga menghadirkan suasana magis. Dua ekor (kostum) singa putih yang masih belum dikenakan ikut serta dalam prosesi tersebut.
Rombongan naik ke panggung, empat orang pemain Ojung berpakaian hitam-hitam, saling berhadapan dalam posisi jongkok dengan satu lutut di lantai. Keempat tangkai rotan yang dibawanya dipertemukan di tengah. Sementara tokoh adat tadi menuju ke beberapa sudut panggung, menyebarkan dupa ke berbagai arah, kemudian menuju ke para pemain Ojung, dan melakukan hal yang sama. Pemain yang lain, jalan mengelilingi pemain Ojung itu.
Semua pemain masuk, kecuali keempat pemain Ojung. Mereka lantas melemparkan tongkatnya ke belakang, menari, mengambil lagi tongkat rotan dan saling bertarung sepasang-sepasang. Dalam praktek di lapangan aslinya, ini adalah tarian minta hujan. Mereka saling memukul tubuh lawannya, sampai mengeluarkan darah, menetes ke tanah, sebagai sebuah persembahan buat bumi. Di sejumlah daerah tarian ini juga ada, misalnya di Mojokerto, yang juga dimaksudkan sebagai ritual mengharapkan hujan turun.
Usai Tarian Ojung, muncullah seorang penari topeng yang menari tunggal Topeng Kona untuk beberapa lama. Dalam kisahnya, dia adalah tokoh bernama Juk Seng, tokoh sakti yang memiliki kekuatan supranatural sehingga bisa bersahabat dengan singa. Kemudian muncullah penari waria (pria berdandan wanita) duet sebentar, lalu menari sendiri. Kemunculan penari yang satu ini agaknya untuk menghibur penonton, karena meski dia berdendang (ngidung) namun kehadirannya lebih dimaksudkan untuk lucu-lucuan (humor).
Sementara itu, pelan-pelan dari arah belakang panggung muncul seekor singa putih, matanya bercahaya, berjalan pelan menuju sebuah kotak di sudut belakang panggung. Singa itu dengan langkah tenang naik ke atas kotak tersebut. Duduk dan bergerak sedikit namun penuh wibawa, kepalanya bergeleng pelan, matanya terus memancarkan sinar. Penari waria menghadap singa, mencoba bercanda, dan akhirnya masuk panggung.
Dalam waktu bersamaan, dua ekor singa muncul dari arah samping panggung, masing-masing dengan pengawalnya. Seekor singa melakukan gerakan akrobat, berguling-guling, dua buah singa yang lain menyambut dengan gerakan perlawanan. Namun ketiganya kemudian bergabung saling tindih tubuh seperti akrobat cheer leaders. Kemudian muncullah beberapa anak kecil, membawa bingkisan ke sudut panggung, namun salah satu singa “menggigit” anak itu, dibawa dengan giginya, sampai dilepaskan kembali oleh pengawal.
Musik semakin gaduh, satu persatu singa turun ke arah penonton yang lantas menjerit-jerit, terutama anak-anak dan kaum perempuan. Namun singa-singa itu hanya mengambil bungkusan tape dengan giginya, kemudian diberikan pada tamu kehormatan. Kehadiran singa-singa ke dekat penonton ini betul-betul membuat suasana sangat gaduh, mereka seperti takut, namun salut dan memberikan tepuk tangan meriah. Sampai kemudian tiga singa itu kembali naik panggung.
Terjadilah pertarungan seru antartiga singa tersebut. Di sinilah klimaks dari pertunjukan Ronteg Singo Ulung tersebut. Musik semakin bergemuruh, lengkingan terompet menyayat-nyayat, gerakan-gerakan singa semakin akrobatik sehingga penonton dibuat terkesima. Empat orang pengawal yang sejak tadi berusaha mengendalikan kebringasan singa-singa tersebut agak kewalahan, meski akhirnya mampu menghentikan pertarungan. Sampai di sini, pertunjukan Rontek Singo Ulung usai. Tiga singa, diapit 4 pengawal, semua pemain keluar lagi, berdiri berjajar, memberi hormat penonton.